Zaid bin Tsabit lahir di Madinah sebelas tahun sebelum Hijriah. Beliau memiliki gelar “Jami Al-Qur’an Al-Karim”. Ayahnya meninggal dunia ketika beliau berumur enam tahun. Pada waktu Rasulullah hijrah ke Madinah, Zaid masuk Islam pada umur 11 tahun. Kemudian, pada usia 13 tahun, Zaid bin Tsabit datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi tinggi badannya. Tanpa rasa takut ia memohon kepada Rasulullah agar diijinkan ikut berperang. “Saya bersedia syahid untuk anda wahai Rasulullah. Ijinkan saya pergi berjihad bersama anda untuk memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panji anda.” ucapnya dengan tegas. Rasulullah tertegun mendengar permintaan itu.
Dengan penuh rasa haru, gembira dan takjub, ia menepuk-nepuk bahu Zaid. Sayangnya Rasulullah tidak bisa memenuhi permintaan itu karena usia Zaid yang masih sangat belia. Zaid pulang dengan rasa kecewa. Tapi, kecintaannya yang tinggi terhadap Islam tidak pupus. Dengan kecerdasannya, ia memikirkan hal lain yang mungkin bisa ia lakukan tanpa terhalang usia. Dibantu oleh ibunya, Nuwar binti Malik, ia mengajukan permohonan baru untuk ikut berjuang di jalan Allah. Sang ibu pergi menghadap Rasulullah untuk menyampaikan kelebihan Zaid yang mampu menghafal tujuh belas surat dengan bacaan yang baik dan benar serta mampu membaca dan menulis dengan bahasa Arab dengan tulisan yang indah dan bacaan yang lancar. Lalu, Rasulullah meminta Zaid mempraktekkan apa yang dikatakan ibunya. Rasulullah kagum setelah melihat secara langsung kemampuan Zaid lalu memintanya agar belajar bahasa Ibrani (Yahudi) dengan tujuan agar bangsa Yahudi tidak mudah menipu Rasulullah.
Baca juga: Memahami Sastra Al-Qur’an
Kelebihan Zaid Dalam Menghafal
Tidak butuh waktu lama bagi Zaid untuk menguasai bahasa Ibrani. Sehingga, setiap kali Rasulullah mendapatkan surat dari orang Yahudi, maka beliau meminta Zaid membantunya. Di usia yang masih muda, Zaid sudah menjadi orang kepercayaan Rasulullah untuk menjadi sekretaris pribadi beliau. Sehingga, Rasulullah pun mempercayakan Zaid menuliskan wahyu yang turun kepada Rasulullah. Ketika ada wahyu yang turun Rasulullah memanggil Zaid, kemudian meminta Zaid untuk menulisnya.
Suatu ketika terjadi perang Yamamah yang banyak menelan korban dari kedua pihak. Sebanyak 70 penghafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan itu sehingga Umar bin Khattab merasa khawatir akan kelestarian Al-Qur’an. Umar lalu mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar untuk menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an. setelah melakukan shalat istikharah, Abu Bakar akhirnya menyetujui rencana mulia itu. Beliau pun mempercayakan tugas besar dan berat itu kepada Zaid bin Tsabit. Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an itu, Zaid bekerja dengan amat teliti dan cermat walaupun ia sudah hafal Al-Qur’an seluruhnya. Ia masih memandang perlu untuk mencocokkan hafalannya dengan catatan para sahabat lain dengan dibantu oleh dua saksi. Hingga pada akhirnya Al-Qur’an terkumpul dan disusun seluruhnya oleh Zaid dalam lembaran yang diikat dengan benang. Setelah itu Al-Qur’an diserahkan kepada khalifah Abu bakar.
Karena kedalamannya pengetahuan akan Al-Qur’an, Zaid diangkat menjadi penasehat umat Islam pada masanya. Ia menjadi tempat bertanya ketika ada masalah terkait dengan hukum Islam. Karena kemampuan itu, saat Umar bi Khattab menjadi khalifah, Umar berkata “Hai manusia, siapa yang ingin bertanya tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit”. Kebesaran nama Zaid bin Tsabit dan kedalaman ilmu yang dimilikinya, menjadi suatu kehilangan besar ketika tiba waktunya ia pergi menghadap illahi. Beliau wafat pada tahun 45 Hijriah di Madinah. Kaum muslimin bersedih karena kehilangan seseorang yang di hatinya bersarang Al-Qur’an. Beliau meninggalkan seorang anak bernama Khorijah bin Zaid, salah seorang ahli fiqih tujuh yang terkenal di Madinah. Anaknya termasuk golongan tabi’in yang sangat berpengaruh.