Oleh: K.H. Ahmad Mudzoffar Jufri, Lc., MA. (Dewan Pengawas Syariah Dompet Al-Quran Indonesia)
Syareat zakat di dalam Islam memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, zakat dalam konsep Islam bukanlah sebuah amal diantara amal-amal kebajikan belaka, dan juga bukan merupakan sebuah sifat kedermawanan semata. Namun ia adalah salah satu rukun dasar ajaran Islam dan salah satu diantara empat ibadah asasinya, yang tingkat keharusan dan kewajibannya menempati strata puncak. Maka ia tidak bersifat sukarela atau pilihan bebas, dimana seseorang boleh memilih berzakat atau tidak berzakat. Melainkan sebuah keniscayaan syar’i yang sekaligus menjadi syarat ketaqwaan dan kesalehan setiap muslim yang mampu.
Kedua, ia – dalam pandangan Islam – merupakan sebuah hak tetap bagi kaum fakir miskin (dan para mustahiq yang lain) pada harta kaum muslimin yang kaya. Suatu hak yang ditetapkan oleh Pemilik Asli harta siapapun, yakni Allah Ta’ala. Ya, Allah-lah pemilik asli setiap harta dan Dia memiliki kebebasan mutlak untuk membagi-bagi harta milik-Nya sesuai kehendak dan ketentuan-Nya. Dan orang-orang kaya yang mendapatkan titipan harta tersebut tentu harus melaksanakan kehendak dan ketentuan tersebut.
Baca juga: Ini Ancaman Bagi yang Enggan Keluarkan Zakat
Ketiga, syariat Islam yang mewajibkan zakat juga telah menetapkan syarat-syarat, ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, nishab dan kadar-kadarnya secara jelas dan rinci, yang wajib dijaga, dipenuhi dan diikuti, agar penunaiannya dinilai benar dan sah.
Keempat, penunaian kewajiban zakat – dalam konsep Islam – tidak diserahkan kepada kerelaan dan kehendak hati masing-masing individu diantara kaum muslimin yang telah wajib berzakat. Namun sistem pengelolaan – penarikan dan distribusinya – menjadi tugas dan kewenangan pemerintah dan Negara Islam. Oleh karena itu Allah berfirman tentang zakat, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka …” (QS At-Taubah : 103). Jadi zakat itu harus diambil, dan tidak ditunggu saja sampai masing-masing orang menyerahkannya sekehendak dan serela hatinya. Dan sebagian tugas dan kewenangan inilah yang saat ini diemban oleh lembaga-lembaga amil zakat yang ada.
Kelima, diantara kewenangan pemerintah dalam Negara Islam adalah bahwa ia berhak – bahkan mungkin wajib – menjatuhkan sanksi yang sesuai atas orang-orang kaya yang enggan membayar zakat. Termasuk berhak memerangi kelompok yang memiliki kekuatan yang menolak untuk membayar zakat, sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar ra.
Keenam, pada saat pemerintah Islam tidak ada, kewajiban berzakat ini tetap berlaku dan tidak gugur. Sehingga, setiap muslim yang mampu wajib tetap membayar zakat baik secara pribadi maupun secara kolektif – dan ini lebih baik – melalui pengelolaan lembaga-lembaga amil zakat yang amanah dan professional.
Baca juga: Ini Bedanya Zakat dan Sedekah
Ketujuh, sistem dan sasaran distribusi zakat juga telah ditetapkan langsung oleh Allah (lihat QS A-Taubah : 60). Jadi, para pengelola zakat, termasuk para penguasa dalam pemerintahan Islam sekalipun, tidak boleh mendistribusikannya sesuai kehendak mereka saja. Posisi dan peran mereka “hanyalah” sebagai perantara antara pihak muzakki (pembayar zakat) dan pihak mustahik (pemilik hak zakat). Atau dengan kata lain, mereka adalah penanggung dan pengemban amanat besar dan berat, yang meliputi: amanat dari Allah untuk menunaikan syareat-Nya dengan benar, baik dan tepat; amanat dari para muzakki yang telah mempercayai mereka untuk mendistribusikan zakat mereka; dan amanat dari para mustahik yang merupakan pemilik sah harta-harta zakat itu, dan yang sedang menunggu-nunggu hak-hak mereka itu bisa secepatnya “dikembalikan” kepada mereka.
Kedelapan, zakat yang diserahkan kepada para mustahiq, fakir miskin misalnya, tidaklah sekedar untuk menutup kebutuhan mereka sementara waktu saja. Namun mereka itu berhak diberi harta zakat, sampai mereka benar-benar berkecukupan, sehingga dengan begitu kemiskinan bisa terhapuskan. Wallahu a’lam bishshawab.