Pada zaman Rasulullah ada sebuah kekuatan yang meretas pada saat Rasulullah Salallahi alaihi wa sallam masih hidup dan kekuatan itu kemudian menjalar pada jiwa-jiwa sahabat. Yang dimaksudkan adalah kekuatan hubungan silaturahim seperti yang ditunjukkan secara sempurna oleh penduduk di Kota Madinah, kaum Anshar terhadap orang- orang pendatang (Muhajirin) yang terusir dari Kota Makkah.
Orang-orang Anshar dengan hati lapang dan penuh keikhlasan membantu saudara-saudaranya dari Makkah. Mereka siap membagi apa pun yang mereka miliki demi meringankan penderitaan kaum Muhajirin. Bahkan, Sa’ad bin Rabi’ dari Anshar selain membagi harta, juga menawarkan istrinya pada Abdurrahman bin ‘Auf yang Muhajirin.
Baca juga: Menuai Kebaikan dari Silaturahmi
Refleksi hubungan silaturahim yang juga ditunjukkan Umar bin Khattab saat ia teringat salah satu sahabatnya. Hati Umar gelisah menahan rindu ingin bertemu sahabat itu. Cerita tentang kegelisahan Umar terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam kitab Az-Zuhud, bahwa pada suatu malam Umar merasa ada yang kurang, “Mengapa malam terasa begitu panjang?”, gumam Umar. Setelah menunaikan salat Subuh, ia langsung mengunjungi sahabat yang ia rindukan itu. Ketika bersua, Umar merangkulnya erat, seakan enggan berpisah.
Ukhuwah yang teretas di masa Rasul itu adalah bentuk hubungan silaturahim yang didorong oleh kekuatan cinta yang diikat karena iman kepada Alloh. Dari sanalah kekuatan ukhuwah itu memekar. Dengan ukhuwah maka hidup menjadi lebih berarti, saling mengasihi satu sama lain, saling meringankan beratnya beban, saling membantu yang membutuhkan dan melegakan yang resah.
Baca juga: Tolong Menolong, Bentuk Empati Penggugah Nurani
Seperti yang tergambar dalam suatu kisah, ketika seorang laki- laki datang pada Rasulullah Salallahi alaihi wa sallam seraya berkata “Wahai Rasulullah, saat ini saya dalam kesusahan”, ujar laki-laki itu mengadukan nasibnya. Kemudian dia diminta mendatangi rumah istri-istri Nabi salallahi alaihi wa sallam., namun ia tidak menemukan bantuan, karena mereka juga tidak memiliki apa-apa. Rasulullah menawarkan kepada para sahabat perihal kondisi orang itu, “Adakah yang mau menjamunya malam ini? Semoga Allah merahmatinya”, tawar Rasulullah., “Saya wahai Rasulullah,” jawab Abu Thalhah Al-Anshory. Ia lantas membawa tamu tersebut ke rumahnya, sesampainya di rumah ia meminta istrinya menyiapkan jamuan makan. “Ini tamu Rasulullah., sediakan jamuan untuknya dan jangan disisakan,” bisik Abu Thalhah ke telinga istrinya. “Tapi kita tidak punya makanan apapun kecuali makanan untuk anak-anak,” istri Thalhah menimpali. “Jika anak-anak minta makan, ajaklah mereka tidur. Lalu matikan lampu. Biarlah kita sekeluarga lapar malam ini“. Sikap Abu Thalhah keesokan harinya mendapat apresiasi Rasulullah, padahal beliau sendiri sama sekali tidak berniat untuk memperoleh pujian karena menjamu tamu tadi malam.
Di salah satu hadits, Rasul pernah bertanya: “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan puasa?” “Tentu wahai Rasulullah,” jawab para sahabat. Beliau menjelaskan :
Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan hubungan silaturahim yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah …. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturrahim.” (HR. Bukhari Muslim).