Zakat fitri atau yang lebih dikenal dengan zakat fitrah ialah zakat yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim atas nama dirinya dan yang dibawah tanggung jawabnya. Pada penghujung bulan Ramadhan, sebelum sholat Idul Fitri, bila yang bersangkutan memiliki kelebihan harta untuk keperluan pada hari itu dan malam harinya. Adapun kadar yang dibayarkan adalah satu sha’(kurang lebih 2,2 kg atau yang biasa digenapkan menjadi 2,5 kg) dari bahan makan pokok setiap daerah.
Menurut sebagian ulama, zakat fitri juga bisa ditunaikan dalam bentuk nilai mata uang seharga kadar zakat tersebut. Khususnya jika hal itu lebih bermanfaat bagi fakir miskin yang menerimanya. Karena keterkaitannya yang lebih kuat dengan diri si pembayar zakat daripada keterkaitannya dengan harta. Zakat ini juga dikenal dengan sebutan zakatul abdan atau zakatul anfus (zakat diri).
Baca juga: Memahami Karakteristik Syareat Zakat
Berbeda dengan zakat maal (zakat harta) yang mensyaratkan nishab (batas kemampuan finansial) tertentu. Pada harta wajib zakat sebagai standar kemampuan finansial kategori kaya, dalam hal zakat fitri, syarat nishab sangatlah sederhana.
Sedangkan zakat maal itu hanya wajib atas orang-orang Islam yang kaya saja (HR Muttafaq ‘Alaih dari Mu’adz bin Jabal). Maka tidak demikian halnya dengan kewajiban zakat fitri yang bisa jadi juga berlaku bagi orang Islam yang miskin.
Karena untuk sekadar memenuhi syarat kewajiban zakat fitri, yakni bahwa seseorang memiliki kelebihan kebutuhan makan-minumnya selama sehari semalam hari raya. Rasanya banyak sekali orang miskin sekarang yang memenuhi syarat tersebut, dengan demikian banyak orang miskin pun wajib membayar zakat fitri.
Padahal sebagaimana yang telah diketahui, orang fakir miskin merupakan salah satu sasaran utama pendistribusian zakat, baik maal maupun fitri (QS At-Taubah : 60). Artinya, seorang miskin disatu sisi wajib membayar zakat fitri. Namun disisi yang lain, karena status kemiskinannya, dia juga berhak menerima zakat, baik fitri maupun maal. Namun bisa jadi yang dia terima justru lebih besar daripada yang dia bayarkan.
Baca juga: Inilah Amalan yang Bisa Dilakukan Wanita Haid
Nah disini mungkin akan muncul pertanyaan : Jika demikian, apa hikmah dan tujuan seseorang tetap diwajibkan berzakat fitri? Padahal di saat yang sama dia juga termasuk yang berhak menerima pembagian zakat itu. Sehingga seakan-akan apa yang dia bayarkan itu akhirnya akan dia terima kembali atau justru dia bisa mendapatkan lebih? Mengapa jika demikian orang yang seperti itu tidak dibebaskan saja dari kewajiban zakat fitri, sebagaimana yang berlaku dalam hal zakat maal? Nah disinilah justru terletak salah satu sisi rahasia keunikan khas zakat fitri. Kita yakin pasti ada hikmah khusus dibalik syariah ini.
Selain bermanfaat dan tujuannya memenuhi kebutuhan fakir miskin, seperti tujuan zakat pada umumnya. Ada hikmah, manfaat dan fungsi khusus zakat fitrah yang terkait dengan ibadah puasa yang dilakukan oleh sang muzakki (pembayar zakat). Yaitu fungsi sebagai faktor pensuci diri orang yang beribadah puasa dan sebagai penutup kekurangan-kekurangan yang terjadi pada puasanya (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dengan demikian berarti zakat fitri merupakan bagian pelengkap yang tidak bisa dipisahkan dari kesempurnaan pelaksanaan ibadah puasa itu sendiri. Dan fungsi ini tentu dibutuhkan oleh setiap orang yang berpuasa, baik yang kaya maupun yang miskin.
Baca juga: Menggapai Bahagia Dengan Berzakat
Di samping itu ada hikmah dan fungsi lain yang bisa kita tangkap dari pewajiban zakat fitri termasuk atas orang miskin. Yakni untuk menjaga komitmen dan konsistensi seseorang untuk selalu berinfaq dalam kondisi apapun, kaya atau miskin, lapang atau sempit, punya banyak atau punya sedikit dan seterusnya, yang merupakan karakteristik utama orang-orang bertaqwa (QS Ali ‘Imran : 133 – 134).
Juga agar si fakir tetap bisa mengalami rasanya memberi, tidak selamanya berada di posisi penerima saja. Hal ini sangat penting karena jika kebiasaan berinfaq dan memberi ini tidak selalu dijaga konsistensinya khususnya saat dalam kondisi berkekurangan, miskin dan sempit. Maka seseorang akan terjangkiti penyakit hati yang menjadikannya berat dan bahkan enggan berinfaq termasuk ketika dia sudah kaya dan lapang sekalipun.
Maka marilah terus selalu gemar berinfak dan suka memberi seberapapun, dalam kondisi apapun dan sampai kapanpun, sesuai kemampuan masing-masing. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa kita adalah orang-orang beriman dan bertaqwa! Karena umat beriman adalah umat penginfak dan pemberi. Dan tiada takwa yang sempurna tanpa semangat memberi dan berbagi.
[…] Baca juga: Kajian: Zakat Fitri dan Konsistensi dalam Berinfak […]