Rasulullah tak hanya piawai dalam perang, namun juga piawai urusan diplomasi. Ada kalanya jalan diplomasi menjadi suatu skenario terbaik untuk menghindari duka mendalam akibat perang. Rasulullah menorehkan sejarah tentang diplomasi. Hudaibiyah menjadi saksi bisu diplomasi Rasulullah.
Hudaibiyah adalah nama sebuah sumur yang sekarang dikenal dengan nama Asy Syumaisi. Tempat ini terletak sejauh 22 km dari arah barat daya kota Mekah. Di tempat ini menjadi saksi bisu sebuah perjanjian, sebuah diplomasi yang dilakukan oleh Rasulullah dengan kaum Quraisy kala itu.
Sementara itu, diceritakan oleh Ustadz Salim A. Fillah, permulaan dari adanya perjanjian ini saat Rasulullah mengajak 1400 muslim untuk melaksanakan ibadah haji. Beliau sangat memahami karakter kaum Quraisy, mereka tidak akan membiarkan kaum muslimin dengan mudahnya menginjakkan kaki di daerah mereka kala itu, termasuk bait suci Ka’bah yang berada di kota Mekah.
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam tidak menginginkan adanya setetespun pertumpahan darah terjadi antara kaum muslimin dan kaum Quraisy kala itu. Beliau paham betul bahwa kota suci Mekah tidak boleh terkotori dengan noda-noda kebencian akibat perang.
Dengan keinginan ini dan berbagai kemungkinan yang akan dihadapi, Rasulullah mengajak seantero kaum muslimin untuk ikut bersama beliau. Tak tertinggal orang-orang Arab yang tinggal di pedalaman, namun mereka enggan untuk melakukannya.
Sikap mereka telah ditulis oleh Allah dalam Al Quran surat Al Fath: 11-12 yang berbunyi,
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menghalangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami!’. Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allâh Azza wa Jalla jika Dia menghendaki kemudaratan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allâh Azza wa Jalla Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang Mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.’”
Baca juga: Begini Seharusnya Adab terhadap Orangtua
Diikuti 1400 Orang yang Hendak Berhaji
Dengan ajakan tersebut didapati kaum muslimin yang turut serta dalam perjalanan Rasulullah menuju kota Mekah untuk berhaji ada sekitar 1400 orang. Jumlah ini berdasarkan kesaksian para sahabat Nabi yang juga turut serta menyaksikan Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjalanan ini, ditambahkan riwayat oleh Imam Bukhari, kaum muslimin juga membawa peralatan perang dan senjata perang sebagai antisipasi jika kaum Quraisy menolak diplomasi.
Di sisi lain, Rasulullah kala itu melihat kaum Quraisy sebagai kaum yang memiliki keistimewaan. Beliau berharap bahwa kaum Quraisy mendapatkan sebuah hidayah dan bersyahadat atas nama Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian, dilanjutkan dengan perundingan yang dilakukan oleh Rasulullah dan utusan-utusan dari kaum Quraisy. Rasulullah menegaskan bahwa maksud kedatangan beliau bukan untuk berperang, namun lebih kepada beribadah haji dengan disaksikan oleh semua kalangan penduduk Arab saat itu. Lalu disanggah oleh utusan dari kaum Quraisy yang bernama Budail bin Warqa’. Ia menjelaskan bahwa kaum Quraisy akan bertekad menghalangi kedatangan kaum muslimin mengunjungi Ka’bah di kota suci Mekah demi apapun yang terjadi.
Lebih lanjut, beliau pun menjelaskan kepada mereka tentang dampak-dampak akibat perang yang berkepanjangan antara kaum muslimin dan Quraisy. Oleh karenanya, beliau mengusulkan untuk disepakati gencatan senjata. Jika, mereka bersikukuh untuk tetap memerangi kaum muslimin maka tidak ada jalan lain untuk menghindari peperangan.
Baca juga: Mengupas 7 Wasiat Rasulullah untuk Abu Dzar Al Ghifari
Perjanjian Hudaibiyah
Lalu, dengan begitu banyak pertimbangan dari kedua belah pihak. Muncullah sebuah pakta perjanjian khusus menanggapi tujuan Rasulullah ini. Perjanjian ini disebut Perjanjian Hudaibiyah.
Kemudian, secara garis besar perjanjian ini berbunyi, “Atas nama Allah. Ini perjanjian antara Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam dan Suhail bin ‘Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas.Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah”
Dengan terbitnya perjanjian tersebut, maka kaum muslimin dapat dengan aman melaksanakan ibadah haji. Setelah beberapa saat terbit perjanjian ini, Rasulullah mendapat wahyu yang berisi kabar gembira. Kabar ini berisi tentang janji Allah subhanahu wa ta’ala perihal kemenangan umat Islam.
Dalam Al Quran surat Al Fath:27 berbunyi, “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”
Perjanjian Hudaibiyah menjadi bukti bahwa Rasulullah tak hanya seorang pionir dalam berperang. Namun juga seorang pionir dalam berdiplomasi. Beliau paham betul bagaimana cara menemukan titik tengah dalam suatu pergolakan kaum. Dengan begitu, Rasulullah dapat menjadi contoh bagi semua umat Islam dunia tentang kepiawaiannya dalam berperang pun berdiplomasi. Yang tak hanya menguntungkan satu pihak namun juga seadil-adilnya kepada semua pihak. (ipw)