Dalam tafsir Al Qurthubi, Qatadah rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud kalimat “Janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” ialah rezeki yang halal. Allah memerintahkan manusia secara jelas dalam ayat tersebut untuk mencari rezeki yang halal yang mana hal tersebut merupakan bagian dari kebahagiaan di dunia.
Berbuat ihsan (berbuat baik) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala juga kepada makhluk-Nya merupakan yang diperintahkan juga dalam ayat tersebut untuk mewujudkan kebahagiaan dunia akhirat berupa rezeki yang halal dan pahala besar di akhirat.
Dari sahabat Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah, perbaguslah dalam mencari (rezeki). Karena tidaklah jiwa akan mati sampai terpenuhinya rezekinya, walaupun lambat.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam hadits lain dijelaskan,“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, ‘Apabila rezeki lambat bagi kalian maka jangan mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena keutamaan-Nya tidak akan didapat dengan kemaksiatan terhadap-Nya.” (HR. Al Hakim)
Baca juga: Hukum Membaca Al Qur’an dari Belakang
Dua hadits tersebut menganjurkan bahkan memerintahkan manusia untuk mencari rezeki dengan cara yang makruf. Berapa pun jumlahnya, banyak ataukah sedikit, jika seorang Mukmin yakin hal itulah yang sudah Allah Subhanahu wa ta’ala takarkan untuknya maka jiwa akan selalu tenang. Karena jika tidak dilakukan dengan makruf, maka rezeki tersebut menjadi kurang atau tidak berkah. Rezeki berkah adalah rezemi yang bermanfaat meski nilainya hanya sedikit.
Teladan-teladan sahabat dalam permasalahan membersihkan diri untuk agama dan kehormatan mereka dan menjaga dari perkara yang haram dan syubhat sangat banyak sekali. Di antara contoh yang menarik yang patut kita teladani adalah sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukahri dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha.
Kisah teladannya seperti ini:
Abu Bakar Ash Shiddiq memiliki budak laki-laki yang senantiasa mengeluarkan kharraj (setoran untuk majikan) padanya. Abu Bakar biasa makan dari kharraj itu. Pada suatu hari ia datang dengan sesuatu, yang akhirnya Abu Bakar makan darinya.
Tiba-tiba sang budak berkata: “Apakah anda tahu dari mana makanan ini?”
Abu Bakar bertanya : “Dari mana?”
Sang budak: “Dulu pada masa jahiliyah aku pernah menjadi dukun yang menyembuhkan orang. Padahal bukannya aku pandai berdukun, namun aku hanya menipunya. Lalu si pasien itu menemuiku dan memberi imbalan buatku. Nah, yang anda makan saat ini adalah hasil dari upah itu. Akhirnya Abu Bakar memasukkan tangannya ke dalam mulutnya hingga keluarlah semua yang ia makan.”
Sesuatu makanan yang hukum asalnya halal masuk ke mulut Abu Bakar, namun ketika ia mengetahui hal itu berasal dari harta yang haram, maka Abu Bakar memasukkan jarinya ke mulutnya agar ia dapat memuntahkan makanan tersebut.
Pada hari ini kita melihat ada orang-orang yang meneguk makanan dari harta yang jelas-jelas haramnya, siang dan malam hasil dari yang haram itu selalu melewati tenggorokannya, ia penuhi perutnya, perut istri dan anaknya, tidakkah orang-orang yang demikian ini takut kepada Allah? Tidakkah kita bertakwa kepada Allah wahai hamba Allah sekalian? Semoga menjadi renungan bagi masing-masing diri kita.(nis)