Musibah mendera silih berganti. Teriak histeris, tangisan melanda korban, membanjiri pipi, mencerai beraikan sanak keluarga. Pun di zaman sahabat juga pernah terjadi musibah. Sikap mereka dulu dapat dijadikan teladan yang bijak hinga hari ini dalam menghadapi musibah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kejadian menyedihkan yang menimpa, malapetaka, atau bencana. Maknanya sendiri, kata musibah berakar pada lafadz assaba-yushiibu, dalam kitab lisan Al Arab yang ditulis oleh Ibnu Mandzur seorang ilmuwan ahli fikih Mesir mengartikannya sebagai Al Dahr yaitu malapetaka atau bencana yang menimpa.
Mendengar kata bencana, di Indonesia baru saja terjadi bencana berupa gempa. Bumi berguncang meluluh lantakkan semua yang ada di atasnya di pulau yang mendapat sebutan Pulau Seribu Masjid, Pulau Lombok. Meluluh lantakkan segala yang di atasnya, membuat tangisan pecah di antara para kerumunan manusia.
Meski begitu, zaman sahabat dahulu juga pernah terjadi suatu musibah. Dijelaskan oleh Ustadz Ikrom Rijal, Lc. MA bahwa pada zaman Khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi musibah gempa bumi. “Dulu di zaman sahabat Umar bin Khattab, kejadian ini kurang lebih pada tahun ke 20 Hijriyah pernah terjadi musibah.” jelasnya.
Baca juga; Inilah Alasan Muslim Harus Cinta Kebersihan
Musibah gempa tersebut terjadi di kota suci Madinah saat Umar bin Khattab menjadi seorang khalifah. Sesaat setelah musibah terjadi, lalu ia mengumpulkan seluruh warga dan berpidato di hadapan mereka, “Wahai penduduk Madinah, alangkah cepat kalian berubah. Demi Allah, kalau sampai terjadi lagi gempa, aku akan pergi dan tidak mau lagi hidup bersama kalian.”
Kemudian, sejenak Ikrom mengingat-ingat dan kembali menukil perkataan Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu dari kitab Al Jawabul Kaafi karangan Ibnu Qayyim Al Jauziah yang berbunyi,
“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.”
Perkataan Ali yang ia tukil ini sesuai dengan firman yang Allah turunkan dalam surat Asy Syuraa:30 yang berbunyi,
“Dan apa saja yang menimpa kamu maka adalah sebab perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
Sementara itu, diceritakan kembali olehnya, “Dengan kerendahan hati Umar, ia membaca bahwa terjadinya gempa saat itu adalah sebuah peringatan bagi segenap penduduk kota Madinah.”
Oleh karenanya, Umar sangat keras memperingati penduduk Madinah kala itu, sampai sampai jika gempa tersebut terjadi lagi, ia mengancam akan meninggalkan kota Madinah beserta penduduknya.
Kemudian, diceritakan kembali oleh Ikrom bahwa suatu musibah terjadi karena Allah ingin memperingatkan suatu kaum. “Musibah datang kepada manusia dari Allah subhanahu wa ta’ala tidak lain untuk memperingatkan mereka bahwa di tengah-tengah mereka sedang bermaksiat. Oleh karenanya, Allah ingin mengeluarkan beberapa golongan yang bermaksiat tersebut.” paparnya.
Baca juga: Meminta Maaf itu Mudah dan Indah
Di sisi lain, Ikrom Rijal dengan lirih kembali menceritakan bahwa kala itu sikap sahabat berdasarkan dari beberapa pendapat ulama ada yang menganjurkan untuk sholat sunah dua raka’at adapula yang berpendapat sebagai iktibar. Yaitu, memandang dan bersikap terhadap suatu musibah sebagai pelajaran bagi manusia.
Meski ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang sikap mereka saat itu, ada baiknya sebagai mukmin yang baik dan berpegang teguh kepada Al Quran mengambil sisi tengahnya. Menjadikan suatu musibah yang menimpa sebagai pelajaran sekaligus menjadi penggugur atas dosa-dosa yang selama ini telah dilakukan.
Nyatanya memang musibah tak hanya terjadi pada hari ini, namun juga terjadi di zaman sahabat Nabi, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘ anhu. Dengan meneladani sikapnya beserta para sahabat yang lain kala itu dapat menjadi tuntunan bagi seluruh umat Islam untuk bersikap demikian, menjadikan musibah sebagai pelajaran, sekaligus sebagai penggugur sebagian besar dosa seperti dikatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firmanNya di surat Asy Syuraa:30.(ipw)